Trip: Menikmati Keindahan Jazirah Leihitu

Ketika saya menginjakkan kaki kembali di Pulau Ambon kala itu, belum terpikirkan oleh saya untuk segera mengeksplorasi wisata disini. Alasannya adalah selain kendaraan saya belum tiba tapi juga karena saya masih kaget dengan beban pekerjaan yang bertambah dari hanya satu bagian menjadi enam sampai tujuh bagian. Inginnya sampai settle dahulu atau sampai dengan penyerahan beberapa bagian pekerjaan ke pejabat yang baru, setelah itu baru coba eksplorasi yang paling dekat dengan rumah dinas.

Namun, memang dasarnya tukang jalan itu turunan ya, jadi ketika saya awal di Ambon, saya mengajak Ibu saya untuk ikut menemani selama kurang lebih 2 minggu. Hitung-hitung melihat Ambon untuk pertama kali. Secara random Ibu saya mengajak untuk melihat Benteng Amsterdam. Ladala… dimana pula itu Benteng Amsterdam? Sambil melihat gmaps, saya tercengang karena lokasinya tepat dibelakang rumah dinas, harus membelah bukit dan jalur yang kalo di zoom in di gmaps, berkelok-kelok. Terbesit tambahan bumbu drama, apakah saya bisa kesana dengan menggunakan motor? karena selama di Bali saya sudah jarang sekali menggunakan motor, hanya ketika saya kuliah di Yogya dan pemakaiannya seperti di track motogp.

Akhirnya, hari minggu dengan cuaca panas khas Ambon (kentang banget), kami beranjak menggunakan motor pinjaman dari teman kantor. Isi asupan energi dahulu di Wailela dan kami siap membelah bukit. Kami melewati daerah Hunuth dan mulai menaiki dan menuruni bukit sampai di daerah Hitu, lalu berbelok ke kiri dari daerah Wakal sampai ke daerah Kaitetu. Ketika kami menuruni bukit di daerah Hitu, kami begitu merasakan suasana yang sangat berbeda dari daerah yang pernah saya kunjungi. Bila dari laman website maupun diberita lokal, daerah di utara dan barat pulau Ambon ini disebut dengan Jazirah Leihitu. Menurut Dizzman, pada laman website kompasiana miliknya mengatakan “Wilayah ini memiliki sejarah yang panjang dimulai dari berdirinya Kerajaan Tanah Hitu, lalu masuknya Islam pada abad ke-15, disusul oleh Portugis dan Belanda pada abad ke-16.”

Postingan blog ini akan lebih banyak cerita tentang 3 tempat wisata sejarah yang ada di daerah Kaitetu dan Hila, Jazirah Leihitu. Perjalanan untuk sampai ke tempat wisata pertama, Benteng Amsterdam, membutuhkan waktu kurang lebih 90 menit dari rumah dinas saya di Negeri Tawiri. Pemandangan yang kita dapat selama perjalanan adalah pesisir pantai dan setengah bahu jalan dipakai untuk mengeringkan cengkeh. Kalo diperhatikan daerahnya seperti kampung nelayan, bentukan rumahnya pun melayu sekali. Bagus banget.

Sesampainya di tempat parkir Benteng Amsterdam, pantat saya sudah kebas sekali karena merasakan begitu jauhnya perjalanan, ditambah cuaca yang begitu panas serta banyaknya polisi tidur. Ya maklum, kami berdua baru pertama kali menginjakkan kaki dan mengekplorasi sejauh ini. Hehe..

Kami mulai beranjak mendekati pintu masuk Benteng, kami mengisi buku tamu dan memberikan dana seikhlasnya didalam kotak. Menuju pintu masuk akan disuguhi pohon besar yang rindang, tidak jauh dari sana kita bisa langsung melihat hamparan laut. Menurut penuturan pada website Pemerintah Kota Ambon, Benteng Amsterdam terbentuk pada tahun 1512 oleh Portugis sebagai tempat loji perdagangan, namun ketika dikuasai oleh Belanda pada tahun 1602 digunakan sebagai kubu pertahanan untuk melawan kerajaan Hitu.

Bangunannya terdiri dari 3 lantai, pada lantai satu terdiri lantai berbata merah, lantai dua dan tiga terdiri lantai berkayu besi. Pada ujung bangunan terdapat sebuah menara pengintai. Lantai satu berfungsi sebagai tempat tidur para serdadu, lantai dua untuk tempat pertemuan para perwira dan lantai tiga berfungsi sebagai pos pemantau

Menurut saya, benteng ini masih terlihat sangat kokoh dan dirawat apik oleh penduduk sekitar. Namun sayang, informasi terkait Benteng Amsterdam ini tidak banyak, pun tidak ada guide yang standby untuk menceritakan lebih banyak tentang benteng ini. Semoga saja kedepannya ada yang dapat menceritakan mengenai bangunan bersejarah ini.

Tempat wisata sejarah kedua tidak jauh dari Benteng Amsterdam yaitu Gereja Tua Imanuel. Gereja ini sudah tidak difungsikan lagi untuk kegiatan peribadatan, namun kita bisa mengunjunginya kapanpun karena pintu gereja selalu terbuka. Pada saat kami berkunjung kesana, kami bertemu dua orang lainnya yang sedang melihat-lihat didalam. Kami mengisi buku tamu dan memberikan sumbangan seikhlasnya didalam kotak yang sudah disediakan. Bangunan bersejarah ini bila saya baca di website indonesiatraveler.id, dibangun oleh Belanda pada tahun 1659 dan merupakan gereja tertua di Provinsi Maluku. Gereja ini sempat mengalami kerusakan pada tahun 1999, namun sudah kembali dipugar dan menjadikan salah satu cagar budaya.

Setelah melihat Gereja Tua Imanuel, kami beranjak untuk mencari Tempat wisata sejarah ketiga yaitu keberadaan Masjid Tua Waupaue. Kami sempat nyasar sebentar karena bila dilihat dari gmaps, dekat dengan lapangan bola, kami kira bisa mengelilingi lapangan tersebut, ternyata memang harus melewati rumah warga karena posisi Masjid Tua tersebut di ujung jalan dan tidak bisa dilewati kendaraan selain motor/sepeda. Lokasi Masjid Tua ini juga tidak terlalu jauh dari Benteng Amsterdam dan Gereje Tua Imanuel. Hanya berjarak kira-kira 300 meter saja. Ketika kami sampai di Masjid Tua tersebut, rasanya agak mistis ya. ehehehe.. Beda banget rasanya, seperti didunia lain (untung saja Ibu saya yang “sensitif” tidak terlalu merasakannya). Kami memarkirkan motor diluar dan beranjak masuk kedalam area dalam Masjid.

Di area masjid, kami bertemu dengan dua Ibu-Ibu, sepertinya warga sekitar yang selesai shalat Ashar. Kami berbicara beberapa menit, Ibu saya masih mendengarkan cerita, saya masuk kedalam area masjid. Masjidnya benar-benar terlihat autentik sekali, dari buku-buku tua, bedug, mimbar imam, dan tiang-tiang kayu. Sebelum kami masuk ke area masjid, kami sempat membaca tulisan prasasti yang cukup besar dan terbaca jelas. Tertulis:

“Didirikan oleh Perdana Jamilu, seorang Da’i keturunan dari Kesultanan Jailolo dari Moloku Kie Raha pada tahun 1414 di Wawane dengan nama Masjid Wawane, namun pada tahun 1614 dipindahkan oleh Imam Rijalli ke Tehalla sekitar 6 Km sebelah timur Wawane. Pada Tahun 1614 Masjid ini dipindahkan kembali ke Kaitetu, dimana didirikan dibawah pohon mangga berabu yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Oleh sebab itu kemudian masjid ini berubah nama menjadi Masjid Wapaue. Ciri khas bangunan induknya adalah tanpa menggunakan paku.”

Kami sempat termangu ketika selesai membaca sejarah singkat Masjid Waupaue karena Masjid ini dibangun sudah lama sekali dan banyak sekali lika liku perjalanannya hingga masih tetap ada sampai dengan saat ini dan digunakan untuk beribadah bagi warga sekitar.

Hari semakin sore, kami berpamitan kepada kedua Ibu tersebut. Kami mulai mengendarai motor dan kembali ke rumah dinas dalam rasa penuh syukur dan senang bisa berkunjung ke tempat bersejarah di Pulau Ambon.

HAVE A NICE DAY!

TRIP: HARUKU PANGGIL PULANG.

Siang itu saya masih mengerjakan tugas seperti biasa sambil sesekali bermain ke ruangan teman di seberang ruangan. Tiba-tiba saya menerima PDF dari whatsapp group, isinya saya dipindah ke bagian timur Indonesia, menggantikan teman saya yang lebih dahulu disana. Tempat yang lumayan familiar dibenak saya beberapa tahun silam.

Maluku. Ya, semenjak bulan Oktober 2020 saya sudah aktif bekerja di Maluku, tepatnya di Kota Ambon. Tidak banyak yang berubah, hanya semakin ramai saja, geliat kotanya masih sama, seperti biasa daerah Batu Merah dan pertigaan Kebun Cengkeh menjadi pusat kemacetan dan angkot yang tidak mau mengalah. Hehe.. Saya sendiri tinggal di Negeri Tawiri dekat dengan bandara, jaraknya sekitar 30-35 menit dari pusat kota. Semenjak pandemi melanda, saya tidak aktif jalan-jalan seperti yang saya lakukan di Bali. Selain karena menghindari kerumunan, tidak banyak informasi yang saya dapat untuk menuju daerah wisata yang saya inginkan, selain itu perlu tenaga ekstra untuk dapat mencapainya karena kontur Pulau Ambon yang berbukit-bukit.

Selama berada di Kota Ambon, saya sempat terbesit ingin kembali mengunjungi atau napak tilas daerah yang pernah saya singgahi ketika mengikuti ekspedisi maluku bersama Pecinta Alam Psikologi (Psikologi) di tahun 2010, namun sering kali berujung melepaskan niat karena cuaca serta kondisi. Akhirnya pada bulan Juli 2021, diantara cuaca yang sering hujan, kala itu semesta mendukung untuk mengunjungi Pulau Haruku.

Kami berempat, Saya, Petty, Saras, dan Sam mulai bergerak menuju pelabuhan Tulehu pada jam 07.30 pagi, disambi membeli nasi kuning untuk bekal kami makan pagi disana. Lalu lintas pada saat itu tidak begitu padat, namun ketika menuju ke pelabuhan, sedang ada perbaikan jembatan yang putus dan alhasil harus menggunakan jalur alternatif lainnya yang bisa dibilang tidak valid bagi mobil mini bus karena pasti terjadi gesekan dibawah mesin. Sesampainya di Pelabuhan Tulehu, kami memarkirkan mobil masuk ke dekat docking kapal. Berhubung Sam adalah orang asli Pulau Haruku, Negeri Pelauw, dia punya kenalan speed boat yang bisa kita sewa seharian.

Tujuan pertama kami berada di Negeri Haruku untuk mengunjungi Benteng Nieuw Zeelandia dan Rumah Kewang Haruku. Tak perlu waktu lama, hanya 20 menit menggunakan speed boat, kami sudah sampai tepat didepan Benteng. Benteng ini hanya tinggal pintu utama dan sebagian kecil tembok saja. Sejarah singkat yang tertulis disana adalah bangunan benteng ini sudah ada sejak 1626 dan digunakan untuk basis militer dan pada tahun 1862 difungsikan menjadi gudang penyimpanan cengkeh. Hal yang paling menarik adalah, disisi pintu utamanya ada karang yang menempel. Jadi penasaran apakah dahulu mereka membuatnya dari campuran pasir dan karang untuk memperkokoh bangunan?

Setelah melihat-lihat bagian benteng, kami melanjutkan ke bagian selatan Negeri Haruku, tempat dimana Rumah Kewang Haruku berada. Kewang dalam bahasa Ambon artinya lembaga adat untuk mengelola dan mengawasi sumberdaya alam serta ekonomi masyarakat (dalam buku “Kapata Kewang Haruku & Sasi Aman Haru-ukui, Eliza Kissya, 2013). Rumah Kewang ada beberapa bangunan seperti baileo (tempat berkumpul), bangunan yang berisi tempat menginap, bangunan utama tempat kepala Kewang tinggal bersama keluarga, dan tempat konservasi Burung Gosong di Maluku. Kami kira tidak akan bertemu dengan Eliza Kissya (biasa disapa Opa Eli), namun Opa Eli menyambut kami dengan hangat ketika kami terkesima melihat Burung Gosong.

Kami duduk santai bersama Opa Eli di baileo, Beliau bercerita banyak hal terkait menjadi Kepala Kewang, bagaimana dikenal sampai ke mancanegara dan menjadi pembicara, bagaimana melestarikan adat istiadat yang sampai saat ini masih sangat kental di Negeri Haruku, bagaimana berkomunikasi dengan warga sekitar dan luar Maluku dengan Kapata (pantun) yang sangat menarik agar mereka tergerak untuk menjaga alam dan lingkungan sekitar. Pada bagian akhir, Opa Eli memainkan ukulelenya dan menawarkan karyanya yaitu buku yang sangat membuka cakrawala saya terkait Kewang di Haruku.

Tidak terasa sudah satu jam kami bercengkrama dengan Opa Eli, kami memohon pamit karena harus menuju ke daerah lain di Pulau Haruku. Kami senang sekali mendengar pantun yang disandungkan dan ilmu baru yang dapat kami petik di Rumah Kewang Haruku. Buku Beliau kami simpan rapi di dalam tas dan melanjutkan perjalanan. Kami berjalan hingga didepan gereja dan menyewa ojek sampai ke Pelabuhan Waerang, Kailolo untuk bertemu dengan saudara Sam yang akan membawa kami ke destinasi selanjutnya menggunakan mobil. Dibutuhkan waktu kurang lebih 15 menit sampai ke Pelabuhan dengan disuguhkan pemandangan pesisir pantai.

Tidak perlu waktu lama, setelah sampai di Pelabuhan kami langsung bertemu dengan saudaranya Sam dan melanjutkan perjalanan ke Pantai Yanain, Negeri Hulaliu, sekitar 15 menit dari Pelabuhan. Pulau Haruku ini antara satu negeri ke negeri tidak terlalu jauh seperti di Pulau Seram.

Kami melewati jalan dengan pemandangan pesisir pantai kembali, ada beberapa dermaga kecil sebagai akses cepat di beberapa negeri disini. Dengan iringan lagu melayu dan suara merdu Sam, kami sampai di Pantai Yanain yang sepi tanpa ada orang. Ya kala itu kami sampai tepat jam makan siang, siapa pula yang mau main di pantai siang bolong seperti ini. hehehe..

Kami melihat-lihat sekitar terlebih dahulu untuk memastikan barang bawaan kami akan aman ketika kami tinggal untuk menikmati pantai. Kami menemukan tempat duduk untuk istirahat sejenak dan makan siang bersama, nasi kuning yang seharusnya untuk makan pagi dijadikan untuk brunch. Setelah makan siang barulah kami menyusuri garis Pantai Yanain.

Pantai Yanain, Hulaliu berpasir putih dan lembut seperti tepung. Warna air lautnya memiliki gradasi yang cukup tegas antara warna biru tosca dan biru tua. Diseberang pantai, kita sudah bisa melihat Pulau Saparua. Bila dilihat lebih seksama, ombak di Pantai Yanain agak sedikit berbeda, alirannya memutari hanya di area warna biru tua, yang dimana itu adalah palung yang dalam. Beberapa kali kami melihat speed boat harus melawati sisi pinggir yaitu di warna biru tosca.

Waktu sudah menunjukkan pukul 13.15 WIT pada waktu itu. Sudah saatnya kami kembali pulang karena berdasarkan perkiraan di aplikasi tides, ombak semakin sore semakin tinggi. Kami tidak mau lompat-lompatan di speed boat ketika pulang. Kami mengepak barang-barang bawaan kami dan dalam perjalanan menuju Pelabuhan Waerang, saya meminta tolong untuk mampir sebentar di Negeri Kariu. Negeri dimana 11 tahun lalu saya dan teman-teman Pecinta Alam Psikologi (Palapsi) melakukan ekspedisi pengabdian masyarakat. Saya mengambil beberapa foto disana, termasuk Dermaga Pelauw serta Benteng Hoorn di Negeri Pelauw.

Perjalanan di Pulau Haruku ini adalah perjalanan penuh kenangan bagi saya. Saya belum sempat berkunjung ke keluarga abang ongky di bagian atas Negeri Kariu, namun kala itu mengetahui disana sudah lebih banyak bangunan yang dibangun, gereja yang sudah megah dan bagus, sudah cukup bagi saya untuk menuntaskan rasa terpanggil “pulang”. Berikut adalah beberapa foto yang saya sandingkan ketika tahun 2010 dan tahun 2021 di Pulau Haruku:

Video perjalanan di Pulau Haruku tahun 2021 bisa di cek disini:

HAVE A NICE DAY!

Jalan Santai: Gunung Abang Bali

Menikmati keindahan Bali dari sisi lain adalah motivasi saya ketika ditawarkan untuk ikut serta dalam pendakian ke Gunung Abang bulan September 2020. Persiapan pendakian ini terbilang cukup singkat, hanya satu minggu. Peserta pendakiannya adalah Endah, Betty, Maiskayanti, dan saya. Mepetnya persiapan pendakian dikarenakan ide dari Endah sebagai farewell Betty yang akan mutasi ke Surabaya. Untuk guide, kami menggunakan Bes25 dan penjemputan kami booking pak Wayan sebagai navigator perjalanan.

Meeting point dengan guide berada di KFC Sanur. Perjalanan dimulai pada pukul 00.30 WITA dan sampai di Pintu Utama Gunung Abang (Jl Wisata Alam Penelokan) sekitar pukul 01.45 WITA. Perjalanan malam hari harus sangat hati-hati karena di area menuju pintu utama masih ada kabut sangat tebal yang menyebabkan jarak pandang pendek. Ketika kami tiba, udara dingin langsung menusuk kulit kami. Kami terlebih dahulu membayar retribusi sebesar Rp 16.000/orang dan penjaga menawarkan minuman hangat seperti teh dan kopi disertai ubi hangat yang telah disediakan di pendopo. Sebelum dimulai perjalanan, kami bergantian menggunakan toilet untuk meminimalisir keinginan di atas sana.

Kami memulai pendakian sekitar pukul 02.10 WITA, sebelum benar-benar melangkahkan kaki, kita berdoa bersama dahulu agar perjalanan lancar. Guide kami ada 2 orang, jadi kami merasa aman, ada yang didepan dan dipaling belakang. Leadernya Bli Adi, diikuti Maiska, Betty, Endah, Saya, dan Bli Boy sebagai sweeper. Gunung Abang memiliki tinggi 2.152 Mdpl, gunung tertinggi ke-3 di Pulau Bali, terdiri dari 2 Pos dan Puncak. Ketika saya menggunakan smartwatch, yang tercatat untuk elevasinya adalah 1.136m dengan jarak 4,38km dari Pintu Tiket sampai Puncak.

Kami memutuskan untuk tek tok, pendakian pada malam hari, menikmati sunrise, lalu kembali turun. Selama pendakian menuju puncak kami sangat sedikit sekali berbicara. Kami adalah pendaki senyap, dalam arti sesungguhnya. Yaah.. selain yang lain pada megap-megap, saya takut punggung berulah dan kita agak konsentrasi menaiki Gunung Abang pada dini hari dengan suara-suara yang uhwaw “menggemaskan”. Wkwk.. Pendakian mulai terasa menarik setelah pos 1 sampai ke puncak. Elevasi dan rute pendakian perlu kelincahan kaki untuk memudahkan perjalanan. Menuju Pos 2, kami bertemu beberapa pendaki lain yang grup nya lumayan rame dan sedang berisitirahat di bebatuan sekitar. Pada saat di Pos 2 kami istirahat sejenak untuk minum dan duduk. Dua sampai tiga tenda sudah didirikan disekitar sana. Setelah melihat jam, guide kami mengatakan bahwa kami terlalu cepat sampai dan kemungkinan kami harus menunggu sedikit lama ketika sampai di puncak untuk menikmati matahari terbit.

Sekitar 15 menit, tenaga kami sudah bertambah ketika beristirahat di pos 2. Kami melanjutkan perjalanan ke Pos 3 Bayangan dan Puncak. Sebelumnya memang ada Pos 3, namun karena sudah tidak mumpuni untuk dijadikan tempat istirahat, pos tersebut tidak digunakan kembali. Cuaca pada saat itu sedang tidak hujan namun angin cukup kencang, setiap perjalanan, saya selalu nyeletuk “hujan, ya?”, lalu teman-teman lain menimpali itu hanya angin kencang yang lewat. Dan benar, anginnya cukup kencang dan hanya sambil lewat, seperti memutari gunung. Hampir menunju Puncak, Betty mulai agak halu dengan menyatakan daun pakis yang ada di depannya adalah duri ikan. Wkkwkwkw..

Kami di Puncak pada pukul 04.56 WITA, masih gelap namun sudah ramai pendaki yang lebih dulu sampai. Karena angin kencang pada saat itu, mereka hanya mendirikan tenda sedikit dibawahnya agar tenda mereka tidak rusak tertiup angin. Kami sendiri membuat bivak tidak jauh dari sana. Bli Adi dan Bli Boy menyiapkan air seduh dan minuman hangat, beberapa menyiapkan makanan kecil dan membuka terpal. Sekitar 1 jam, kami beranjak ke tempat spot matahari terbit, Bli Boy dan Bli Adi tidak ikut serta karena mereka lebih memilih untuk tidur.

Suasana matahari terbit di Gunung Abang ini sungguh syahdu. Semua menyaksikan keindahan arunika yang muncul sedikit demi sedikit sejajar dengan Gunung Rinjani. Walaupun angin yang cukup kencang namun tidak menyurutkan kami untuk menikmati lebih lama di Puncak Gunung Abang ini. Pemandangan yang dapat dilihat di puncak adalah area Kintamani dengan Gunung Batur di sisi barat laut, siluet Gunung Rinjani, dan Gunung Agung yang tampak malu-malu di sisi tenggara.

Ketika kami memutuskan untuk turun, kami baru memperhatikan rute perjalanan selama setengah hari ini. Ternyata kami sangat menikmati pendakian ini, saling bahu membahu untuk naik dan turun, ketawa ketiwi ngeliat sepatunya Betty yang outsole nya lepas semua, dengerin Maiska yang masih diteror kerjaan sama Pak Bosnya. Saya suka dengan rute pendakian Gunung Abang ini, sempat berpikir untuk latihan trail run karena bisa belajar cara turun yang efektif dan gak takut jatuh, belajar lebih percaya diri dan gak takut punggungnya sakit lagi. Overall, pendakian yang sangat menyenangkan dan ternyata sebagai pendakian farewell Betty dan saya sendiri. Terima kasih teman-teman!

Berikut beberapa foto dan video yang dapat saya abadikan selama pendakian:

Untuk Videonya:

HAVE A NICE DAY!

Trip: Air Terjun Kipuan Kebo (Leke-Leke)

Sebelum masuk ke cerita perjalanan kali ini, boleh dilihat dulu video berikut:

Air Terjun Kipuan Kebo atau nama terkenalnya adalah Air Terjun Leke-Leke terletak di daerah Antapan, Baturiti, Tabanan, Bali. Akses masuknya bisa melalui Jl. Baturiti-Mekarsari, setelah Joger Oleh-Oleh dan Secret Garden Village. Tanda jalan menuju air terjun tersebut sudah mumpuni, namun memang, ketika menuju ke pintu masuk, jalan yang disediakan cukup untuk satu mobil, jadi perlu hati-hati dan tidak ngebut. Perjalanan dari Denpasar menuju air terjun tersebut membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam 15 menit, tergantung dari banyaknya kendaraan menuju ke Kebun Raya Bedugul dan sekitarnya. Harga tiket menuju air terjun Kipuan Kebo sebesar Rp 25.000,- harga ini termasuk lumayan mahal dibandingkan air terjun lainnya yang berada di Bali.

 

Saya dan Endah sudah menyiapkan barang-barang dan permakanan yang akan kami bawa menuju ke Air Terjun Kipuan Kebo, kami sudah berniat untuk tidak main air dan hanya ingin menikmati alam yang ada di sekitar. Perjalanan ini dilakukan beberapa minggu yang lalu dan betul bahwa kami datang ketika masa pandemi. Kami benar-benar butuh pelarian dari kepenatan di kos/rumah serta monotonnya pekerjaan kami. Bisa dipastikan kami menerapkan segala protokol yang diperlukan untuk menjauhkan kami dari COVID-19. Keputusan untuk ke air terjun pun berdasarkan pengamatan kami dimana tempat tersebut adalah tempat yang paling mumpuni tidak ada orang atau wisatawan. Bersyukurnya, memang benar-benar tidak ada orang atau wisatawan selama kami di Air Terjun tersebut. Perjalanan yang kami tempuh dari pintu masuk ke Air Terjun Kipuan Kebo sejauh satu kilometer atau 20 menit perjalanan. Akses menuju ke Air Terjun sudah bagus, tangga-tangga yang dibuat masih alami, dan hanya beberapa yang sudah di semen. Tanda menuju ke Air Terjun juga sudah lumayan mumpuni. Perbedaan antara Air Terjun ini dengan Air Terjun lain seperti yang ada di Gianyar adalah rute perjalanan yang masih sangat alami, semak-semak hutan kiri dan kanan.

Kami menyusuri satu jembatan bambu dan menapaki beberapa anak tangga untuk sampai di pintu utama Air Terjun Kipuan Kebo. Ketika kami menyusurinya, terdengar bunyi derasnya Air Terjun dari kejauhan diantara pohon-pohon yang teduh. Pemandangan yang cukup magis bagi saya. Bila ingin berganti pakaian dan untuk bersembahyang, didekat air terjun sudah disediakan

Ini adalah air terjun ter-rapi yang pernah saya kunjungi. Jalurnya sudah baik dan tidak kotor. Ketika saya menaiki batu besar yang ada di dekatnya, saya kira baju saya akan basah karena derasnya air, ternyata tidak. Cuman terpaan angin yang dingin saja yang terasa.

This slideshow requires JavaScript.

Sejatinya, dari rapi, resik, dan alaminya tempat ini, ada cerita yang membuat saya dan endah berpikir sejenak. Pada saat kami kembali ke parkiran mobil, terlebih dahulu mampir ke warung kecil yang menjual kelapa muda dibawah resto leke-leke. Pemilik warung itu bernama Pak Nyoman. Pak Nyoman tinggal tidak jauh dari lokasi warungnya. Setelah mengupas kelapa muda pesanan kami, beliau menceritakan keluh kesah mengenai Air Terjun ini. Menurut versi dari Pak Nyoman, Air Terjun ini seharusnya di dalam google maps tidak diberi nama Air Terjun Leke-Leke karena nama aslinya adalah Air Terjun Kipuan Kebo. Sebelum pandemi ini, banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung kesini dan selalu bertanya dimana letak Air Terjun Leke-Leke karena yang mereka temukan di pintu Air Terjun adalah Air Terjun Kipuan Kebo. Leke-Leke itupun sebenarnya hanya nama restoran yang ada di pintu masuk, pemiliknya lah yang membuat jalur Air Terjun ini, menyiapkan tempat berganti pakaian, yang memiliki beberapa bangunan untuk penjaga (yang belum sepenuhnya jadi), dan akses jalan menuju waterfall village bubble (airbnb). Seluruh fasilitas ini belum dikomunikasikan secara masif ke penduduk sekitar yang berujung adanya beberapa permasalahan yang dirasakan oleh wisatawan ketika tidak ada yang menjaga jalur tersebut. Beberapa permasalahannya seperti adanya pencurian uang di waterfall village bubble ketika orang tersebut pergi meninggalkan kamar dan adanya pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang tidak dikenal ke wisatawan mancanegara (perempuan) ketika hendak kembali ke parkiran dari Air Terjun ini.

Hal tersebut, menurut Pak Nyoman tidak akan terjadi kalau pengelolanya adalah warga sekitar. Warga akan senatiasa menjaga dan membuat Air Terjun ini lebih baik lagi, keuntungan dari penjualan tiket masuk pun akan kembali ke warga sekitar dan digunakan untuk perbaikan fasilitas. Yah, apapun yang dikeluh-kesahkan oleh Pak Nyoman, semoga dapat jalan yang terbaik kedepannya. Semoga Air Terjun ini tetap alami dan menarik perhatian para wisatawan untuk di eksplorasi.

HAVE A NICE DAY!

Trip: Bukit Tengah, Klungkung

Pengen jalan-jalan tapi yang gak jauh dari tempat tinggal. Begitulah celetukan leyeh-leyeh sambil scroll timeline di twitter dan instagram pada saat itu. “Kemana ya?” sambil tetap scrolling. Gak berapa lama, pada saat twitternya BaleBengong beberapa hari itu lagi getol-getolnya nampilin pariwisata Bali, salah satu retweet nya ada pemandangan menarik. Sambil memantau informasi lokasinya dan mengecek di google maps untuk aksesibilitas kendaraan, saya memutuskan pengen banget kesana.

Bukit Tengah namanya. Lokasinya ada di Kabupaten Klungkung, sesuai kriteria yang diinginkan, lokasinya beneran gak jauh. Dalam artian, lokasi masuk ke tempatnya itu masih di pinggir jalan besar. Lebih tepatnya, setelah Pura Goa Lawah kita melaju ke Pantai Goa Lawah, maju beberapa ratus meter di sebelah kiri ada jalan masuk. Tanda masuknya gak terlalu kelihatan, jadi pelan-pelan aja kalo uda sampai di area Pantai Goa Lawah. Pada saat masuk ke jalan menuju Bukit Tengah, siap-siap jalannya semakin naik karena sudah masuk ke daerah perbukitan. Jalan naiknya tidak terlalu terjal namun tetap hati-hati karena setiap tikungan tidak ada kaca convex.

Saya dan Endah memulai perjalanan sekitar pukul 5 pagi karena ingin melihat sunrise. Kami tidak terlalu banyak mempersiapkan barang bawaan, hanya tas berisi kamera, dompet, minum, dan sepatu/sandal yang nyaman. Sesuai dengan informasi di beberapa blog, kami memarkirkan mobil di dekat tikungan pintu masuk Bukit Tengah karena jalan menuju ke lokasi hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Setelah mengganti sendal jepit dengan sepatu, kami bersiap jalan menuju ke lokasi. Jalanan sudah dikavling dan bagus, kanan kiri jalan ada beberapa rumah warga dan kandang ternak. Lokasi persis Bukit Tengah katanya sih tidak lebih dari 1,5 kilometer, setelah berjalan sekitar 800 meter kami berhenti sejenak di belokan karena kami melihat ada anjing yang berlari mengejar anjing lainnya dengan menyalak riuh. Kami berdua mulai panas dingin karena sama-sama takut sama anjing. Apalagi ini anjing penjaga yang notabene bakal menggonggong dengan senang hati. Sekitar 5 menit kami terdiam memandangi anjing-anjing itu. Kami beranikan untuk berjalan lagi setelah anjingnya menghilang di kandang ternak. Belum lama kami berjalan, anjing itu datang kembali. Alhasil kami harus melipir ke rumah warga dan diam bersembunyi. Anjingnya mendengus keras karena tidak menemukan kami dan lari menjauh ke rumah warga lainnya. Kami yang ketakutan berjalan cepat melanjutkan perjalanan yang tinggal sedikit lagi.

Suasana sudah hampir terang pada saat itu, rasa takut kami ternyata belum selesai karena didepan kami sudah ada anjing lainnya yang menunggu. Kami makin takut karena kanan kiri kami tanah lapang sedangkan anjing-anjing didepan kami berada rumah warga. Memang mental kami terhadap anjing itu sangat tipis jadi kami cuman menunggu hampir kurang 15-20 menit cuman buat agar anjing itu diam. Kami mencoba berjalan secara normal, langkah kaki cepat namun tidak terlalu bersuara, dan berdoa kencang. Melewati dua anjing penjaga rumah warga yang sama-sama menggonggong dekat dengan kami. Fiuh. Ternyata mereka beneran cuman menjaga teritorial mereka, tidak sampai nggigit. Setelah berpeluh karena panas dingin ngadepin anjing sepanjang jalan, akhirnya kami sampai di parkiran Bukit Tengah dan menemukan beberapa sepeda motor yang terparkir rapih. Ya ampun tahu gitu pake motor deh kalau tahu harus berhadapan sama banyak anjing sepanjang jalan!

Naik ke Bukit Tengah gak susah macam beneran naik bukit karena tempatnya cocok banget buat para pecinta senja dan pengagum fajar sambil kemah dan gonjreng-gonjreng main gitar. Belum sampai di tempat kemah utama, kami disuguhkan pemandangan hamparan hijau perbukitan lainnya dan Tanjung Melanting, Pelabuhan Padang Bai disisipi kabut tipis. Huhuhuh terharu liatnya.. Kami melanjutkan naik ke atas dan menemukan beberapa muda mudi yang sedang berkemah. Kami juga melihat ada rumah joglo yang berdiri kokoh namun tidak ada yang menempati. Disebelah selatan bisa melihat Selat Lombok, sebelah barat melihat perbukitan, sebelah timur melihat hamparan hutan dan Padang Bai, dan sebelah utara melihat Gunung Agung dan perbukitannya. Syukurnya pada saat itu cuaca sangat mendukung jadi kami bisa mengambil momen yang “wah ngets!”.

This slideshow requires JavaScript.

Bagus kan pemandangan hamparan di sekitar Bukit Tengah ini. Worth it banget ini tempatnya, uda gak ada bayar retribusi, aksesnya gampang dan tempatnya dekat sama jalan besar. Oke deh segitu aja cerita tentang Bukit Tengah. Semoga bisa main kesini lagi dengan kemah rame-rame pasca Covid-19 ini. Aamiin!

HAVE A NICE DAY!

Sunrise Celebration at Pinggan

Tulisan ini sejatinya terpublish tahun lalu di blog tapi karena sesuatu dan lain hal a.k.a lupa, akhirnya malah di website kantor yang muncul duluan.

Rencana saya tercetus pada saat saya lebaran bersama keluarga di Jakarta, pada saat itu saya ingin merayakan hari lahir saya di Bali dan melakukan perjalanan sendirian. Tidak diselebrasi dengan kue ataupun hal lainnya. Saya cuman ingin pergi kesuatu tempat, menikmati matahari terbit, dan menyaksikan arunika muncul perlahan. Pas mau kembali ke Bali, saya ceritakan rencana itu ke Ibu saya dan beliau kekeuh mau ikut dengan saya. Bisa dicoret di KK kalo gak nurutin yekan. Haha..

Saya memutuskan untuk merayakannya di Desa Pinggan. Desa Pinggan terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa Pinggan merupakan salah satu desa di Kintamani yang berada di dataran tinggi dengan ketinggian 1300 mdpl, tepat di area Gunung Batur. Kenapa pilih disana? Karena lihat di media sosial waktu itu. Pft. Selain itu tempatnya memang lain daripada yang lain. Pengen muncak Gunung Batur tapi gak ada temen barengannya karena lagi pada Lebaran, yauda pilihan yang oke jatuh ke Desa Pinggan.

Perjalanan dimulai pada pukul 03.30 WITA, saat itu tidak memutuskan untuk berkemah disana, karena belum ada bayangan seperti apa camping groundnya, apalagi saya ngajak Ibu ya, entar banyak kali tanda bintangnya. Pft. Saya menggunakan mobil ayah saya yang berkapasitas 2400cc, karena mobil saya hanya 1000cc dan yang pasti gak kuat untuk diajak nanjak apalagi ke daerah kaki gunung seperti itu. Perjalanan memakan waktu sekitar 110 Menit dari Denpasar, selama perjalanan menuju kesana saya ngantuk banget karena baru kembali dari Jakarta sehari sebelumnya dan jalurnya berkabut, untung saja ada radio yang masih hidup jadi setidaknya ada yang menemani (ps: Ibu tidur selama perjalanan awal).

Saya dituntun oleh GMaps (keyword: Pinggan Sunrise Spot) menggunakan Jalur Pura Dalem Batur, dimana jalurnya ini sudah lebar dan bagus aspalnya dibandingkan yang biasa saya lewati yaitu di Jalan Windu Sara. Dan saya baru menyadari ketika pulang kenapa Jalan Windu Sara tidak direkomendasikan. Turunan jalur Pura Dalem Batur ini lumayan bikin deg-degan karena setiap belokan kita gak tahu kalo ada truk pasir yang ikut turun ataupun berpapasan. Mode pelan-pelan turun dimulai. Sekitar 15 menitan akhirnya sampai di bawah dan menuju jalur Desa Pinggan dengan bentukan jalan yang bergelombang, sempit, dan berpapasan dengan truk pasir yang ngebut. Hadeuh spot jantung rasanya. Tidak sampai disitu, perjalanan menegangkan baru dimulai ketika naik ke daerah Desa Pinggan. Jadi sudah turun, lurus, naik lagi. Saya sempat cek jalurnya melalui postingan di youtube, posisinya di video itu siang hari. Komen saya cuman “ow okay” dengan nada ragu-ragu. Hahaha..

Mulai naik lah mobil saya ini, jalurnya berkelok, sempit, berpasir, samping kiri tebing, samping kanan jurang. Tanjakan pertama dan kedua aman. Masuk tanjakan ketiga berpapasan dengan mobil, mobil saya posisinya ngalah mlipir ke kiri, mepet banget dan mesti sama-sama tetep jalan biar bisa lewat, mobil harus ekstra ngegas karena ada gundukan pasir di depan ban kiri. Untungnya gak selip dan bisa melanjutkan tanjakan lainnya. Ibu pada saat itu sudah bangun, tegang, dan berdoa sepanjang jalan. Wehehehe.. Kalo saya berdoanya jangan papasan sama mobil aja. Uda bergetar ini tangan karena deg-degan. Syukurnya, sampai di Desa Pinggan dengan aman sentosa, tinggal nyari spot Sunrise sesuai di GMaps.

Sampailah di Pinggan Sunrise Spot, ternyata sepanjang jalan itu tempat camping ground yang mumpuni. Camping ground nya juga menyediakan paketan sewa peralatan kemah, ada warung kecil juga di seberangnya. Saya memarkirkan mobil di bawah tempat kemah, pada saat keluar ternyata masih dingin banget udaranya, sekitar 18° Celcius. Untung saya sudah mempersiapkan sweatshirt yang didalamnya pake uniqlo heattech ultra warm biar gak masuk angin. Saya permisi terlebih dahulu sama yang berkemah dipinggir-pinggir spot foto untuk menaruh tripod dan kamera saya, sambil menikmati arunika yang sayup-sayup muncul ke permukaan. Terharu karena sesuai rencana, sesuai ekspektasi. Melihat matahari terbit dengan pemandangan desa di bawahnya diselimuti kabut tipis disertai pemandangan Gunung Batur, Gunung Abang, Gunung Agung, dan Gunung Rinjani sebagai pelengkapnya. Indah sekali!

This slideshow requires JavaScript.

Setelah sudah cukup terang, saya dan Ibu saya beranjak untuk kembali ke Denpasar. Ternyata saya harus melewati jalur yang tadi dan baru benar-benar tahu kalau jalurnya memang sesempit itu. Wahahha… Kami mampir sebentar di Black Lava Volcano yang berada di kaki Gunung Batur. Black Lava ini tempat kumpulan material bebatuan yang terjadi ketika letusan Gunung Batur, biasanya dipakai buat trek offroad. Ada beberapa tempat, di tengah-tengah jalur menuju Desa Pinggan dan di ujung Jalan Windu Sara. Ketika sampai di ujung Jalan Windu Sara, saya melihat jalurnya makin tidak terawat dan blind-spot banget bagi pengendara lain selain truk pasir. Karena berisiko tinggi, kami memutar balik dan mengambil Jalan Pura Dalem Batur kembali. Menyelesaikan petualangan kecil di Kintamani Coffee – Eco Bike Coffe dengan seruput cokelat hangat.

saya sisipkan video selama disana, lebih oke kalau dilihat menggunakan handphone (versi vertikal):

HAVE A NICE DAY!

Trip: Sumbawa Barat, Pariri Lema Bariri (Pantai Lawar & Pantai Tropical)

Lanjutan Perjalanan di Sumbawa Barat..

Menikmati keindahan Pulau Kenawa tidak ada habisnya bagi saya. Namun, pagi sekitar pukul 09.40 WITA kami sudah berlabuh kembali di sekitar pelabuhan Poto Tano. Barang-barang ditempatkan kembali di belakang mobil dan siap untuk melanjutkan perjalanan. Rencana pada saat itu sambil menunggu waktu check-in tempat menginap, kami mampir sebentar ke beberapa tempat seperti Bukit Mantar, Pantai Lawar, dan Pantai Tropical.

Perjalanan menuju Bukit Mantar sekitar 1 jam dari pelabuhan Poto Tano. Ketika kami sampai di daerah Bukit Mantar, kami tidak menemukan kendaraan yang akan mengantarkan kami ke Bukit tersebut. Akhirnya kami coba untuk menggunakan mobil kami sendiri. Saya pikir bisa lah ya kijang innova dengan 1500 cc ini menanjak sampai ke atas. Eh ternyata kagak bisa. Wahahhaa.. Teman-teman yang lain sudah pada ketakutan ketika saya berusaha untuk sampai di belokan jalan yang sudah tidak beraspal lagi. Dengan kecewa saya memutar balik kendaraan dan menuju ke jalan awal. Pada saat itu kami masih berusaha untuk menanyakan kendaraan yang bisa mengantarkan kami ke atas, ternyata kosong karena kendaraannya dipakai ke daerah lain di Sumbawa dan yang satu mesinnya rusak. Pft. Baiklah mungkin hari itu bukan keberuntungan kami untuk menikmati Bukit Mantar.

Kami melanjutkan ke daerah Maluk yaitu ke Pantai Lawar. Perjalanan ini lumayan jauh. Melewati Taliwang dan PT Newmont. Jalannya termasuk besar dan beraspal bagus plus jarang ada lampu apill. Haha.. Ini sih yang enak, lancar banget perjalanannya tapi kerasa juga gak sampe-sampe karena memang jauh tempatnya dan melewati beberapa perbukitan dengan jalur yang naik turun.

Baru terlihat keramaian ketika melewati PT Newmont, kami semua sudah kelaparan dan akhirnya memutuskan untuk mampir di warung Nasi Padang sekalian shalat dzuhur di seberang jalan. Setelah mendapatkan energi dari makan siang kami, perjalanan dilanjutkan satu jam lagi dan melewati beberapa perbukitan lagi.

Kenapa sih milih Pantai Lawar dan Pantai Tropical? Karena yang bisa dijangkau dengan waktu yang sedikit dan berdekatan antara pantai satu dengan lainnya. Kita cuman modal Google Maps dan tulisan di ujung jalan aja. Iseng-iseng berhadiah. Hahah.. Anyway, masuk di jalan Pantai Lawar, itu jalan sepi banget dan gak ada orang kecuali kita aja. Jalannya pun sempit dan dekat banget sama pohon-pohon kering kanan kiri. Uda bisa dipastikan itu mobil baret tipis sepanjang-panjangnya kena itu pohon. Huhuhu.. Sesampainya di Pantai Lawar, tempatnya private cuman berbentuk cekungan kecil. Pantai berpasir putih dengan perbukitan sisi kanan.

This slideshow requires JavaScript.

Setelah menikmati Pantai Lawar dan berfoto-foto sejenak, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Tropical. Pantai ini cukup terkenal di Pulau Sumbawa. Jalanan menuju Pantai Tropical aspal lebar, mulus, sepi, dan tidak banyak cahaya yang masuk, mungkin karena tertutup tebing di sisi kiri pada saat itu. Kalau dilihat di Maps, banyak penginapan dan tempat makan di daerah sini. Tapi kami tidak menemukannya kecuali di depan Pantai Trpoicalnya langsung. Kami akhirnya sampai di Pantai Tropical dan memarkirkan mobil di dekat penginapan. Garis pantainya panjang, pasir putih dan anehnya pasirnya dingin, padahal pada saat itu sekitar jam 14.00 WITA dan matahari lagi terik-teriknya. Kami menikmati indahnya Pantai Tropical dengan melompat-lompat sana sini, main air laut, foto cekrak cekrek, dan menikmati angin kencang yang menerpa kami. Setelah satu jam berlalu, kami memutuskan untuk kembali ke Taliwang.

This slideshow requires JavaScript.

Perkiraan waktu yang kami hitung dari Pantai Tropical ke Taliwang adalah tidak sampai waktu maghrib. Syukurnya kami sampai pukul 16.30 WITA. Kami menginap di dekat Rumah Sakit Asy-Syifa’. Penginapannya lumayan bagus untuk sekedar transit. Badan kami sudah remuk redam karena tidak istirahat dengan sebagaimana mestinya. Hahaha..

Inilah akhir dari cerita saya dan teman-teman di Sumbawa Barat, cuman sebentar karena utamanya adalah menghadiri pernikahan teman kami. Syukurnya kami dapat menghadiri acara tersebut disambi dengan menikmati keindahan Sumbawa Barat. Semoga suatu saat nanti bisa main lagi kesini dan lebih banyak yang bisa dieksplorasi.

HAVE A NICE DAY!

Trip: Seharian di Nusa Lembongan

Sebelum melanjutkan cerita perjalanan di Sumbawa Barat, saya cerita perjalanan yang lainnya dulu ya..

Bulan Februari 2019, Endah mengajak saya untuk mengunjungi Nusa Lembongan. Tahun 2015 lalu saya dan keluarga sudah pernah kesana namun hanya sampai di Nusa Lembongannya saja, tidak ke Nusa Ceningan. Saya mengiyakan ajakannya dan sepakat untuk bertemu di Pantai Sanur pada pukul 09.00 WITA. Sesampainya di Pantai Sanur, saya cepat-cepat untuk booking tiket boat perjalanan pukul 09.30 WITA, ketika memesan ternyata tiket sudah habis pada jam itu dan hanya tersedia pukul 10.00 dan 10.30 WITA pada boat lainnya. Alhasil saya membeli tiket boat Scoot seharga 80k pukul 10.30 WITA, awalnya yang jualan tiket gak tahu kalo saya orang asli sini, dikasi harga lebih tinggi, pas saya tunjukin KTP baru deh percaya dan dikasi turun harga. Hampir saja mau nge-gas ke penjualnya. Ahaha..

Menunggu beberapa saat, kapal sudah berlabuh di Pantai Sanur, saya dan Endah diberikan name tag kapal agar ABK bisa mengetahui penumpangnya. Hanya memerlukan waktu sekita 30 menit untuk sampai di Nusa Lembongan. Ombak tidak terlalu kencang dan tinggi air laut sedang biasa-biasa saja, namun celana saya tetap basah, boatnya dimana, penumpangnya dimana. hahha.. Sesampainya di bibir pantai Jungutbatu, kami secara acak mencari ketersediaan motor rental. Kami berjalan dan ditawari rental motor sama Bapak-Bapak yang lagi duduk di pinggir pantai. Namanya Bapak Ajik, motor yang ditawarkan bisa dibilang dalam kondisi bagus, penyampaian sang Bapak pun sopan, jadi kami mengiyakan untuk meminjam motornya. Sewa motor seharga 80k termasuk bensin namun tanpa helm (tidak disediakan di Nusa Lembongan dan Nusa Penida). Kami memulai perjalanan ke daerah selatan yaitu Dream Beach dan Devil’s Tear. Mengikuti peta pariwisata yang saya miliki dari tahun 2015, kami berhenti sejenak di Panorama Point untuk melihat keindahan Nusa Lembongan dari dataran tertinggi di Pulau ini. Setelah menikmati hamparan laut dan rumah penduduk dari atas, kami melanjutkan perjalanan menuju Dream Beach. Bisa dikatakan rute perjalanannya tidak berubah ketika tahun 2015 lalu. Bedanya hanya lebih banyak mobil pickup yang disulap seperti bemo untuk mengantarkan wisatawan asing ke tempat penginapan mereka.

Panorama Point

Sesampainya di Dream Beach kami menuruni tangga yang cukup tinggi dan menikmati suasana pantai dengan ombak yang cukup kencang. Pantainya bersih dan pasirnya tebal, ketika saya melangkah kaki saya terjerumus kedalam. Setelah dari Dream Beach kami mengendarai motor ke sisi baratnya yaitu ke Devil’s Tear hanya dua menit sampai. Sekarang daerahnya sudah dipenuhi penjaja makanan, dulu boro-boro deh, kehausan yang ada. Hahaha.. Devil’s Tear ini pecahan karang berbentuk setengah lingkaran, ketika ombak menghantam, serpihan air ombak naik keatas dan berbentuk seperti tangisan. ceileh.. Nah, menariknya adalah ketika kami sampai disana tepat matahari di atas kita, sekitar jam 11.30 – 12.00, serpihan air ombak ini dicampur cahaya matahari akan terbentuk pelangi. Jadi kita dan wisatawan lainnya menunggu hantaman ombak sambil menunggu pelangi. Keren banget!

Dream Beach
Dream Beach

Devil’s Tear

Setelah area Dream Beach dan Devil’s Tear kami jajaki, kami melanjutkan perjalanan ke Underground House, tempat ini dulunya adalah rumah bawah tanah ketika terjadi jepang menjajah daerah Nusa Lembongan. Merogoh kocek Rp 15.000,- kami turun kebawah, pada saat itu hanya kami berdua tamunya, dan sepi. Mau turun kebawah sebenarnya saya ragu-ragu karena lampunya dibawah gak hidup, pegangan tangganya juga tidak terurus, dan hawanya dibawah dingin. Ahahha.. Tapi yasudah kami turun saja sambil kulo nuwun. Pada saat sebelum kami akan keluar menggunakan jalur lain, tangga dari batuan ini cukup tinggi, tak disangka terjadi hal yang tidak terduga, akhirnya kami memutuskan untuk naik menggunakan jalur yang sebelumnya. Apakah worth it untuk ke tempat ini? saya bilang iya jika banyak orang dan ada pemandunya, karena asal usul rumah bawah tanah ini menarik untuk diceritakan.

Oke lanjut, setelah tiga tempat wisata wajib di daerah lembongan barat dan selatan, kita melanjutkan perjalanan menuju Nusa Ceningan. Akhirnya, pertama kali saya bisa merasakan terpaan angin ketika melewati jembatan kuning yang otentik. Ahaha.. Menelusuri jalan di Nusa Ceningan, kami berhenti sejenak untuk beristirahat di pinggir jalan dengan pemandangan pantai, laut biru bergradasi, dan beberapa ayunan. Cuacanya pada saat itu lagi terik-teriknya, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari pantai yang tertulis dalam peta yaitu Secret Beach, inginnya kami sih biar bisa berleha-leha namun ternyata pantainya memang rahasia dan pribadi a.k.a sudah jadi milik penginapan disana. Hmm.. Tapi kami tetap menuju kesana sih, menuruni jalan dan memakirkan motor, menuju ke tempat makan dengan pemandangan Secret Beach. Disana kami hanya memesan minum, itupun lama kali disajikan *ngomel*.

Secret Beach

Dekat Jembatan Kuning

Santai Dulu..

Setelah sekedar melenyapkan dahaga di siang bolong itu, kami melanjutkan perjalanan ke bagian akhir di Nusa Ceningan, yaitu di Secret Point, Mahana Point, dan Blue Lagoon. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Secret Beach, namun memang Nusa Ceningan ini jalannya kecil, rindang dengan pohon-pohon, dan sepi. Cocok kalau mau yang lebih sepian dibanding di Nusa Lembongannya itu sendiri. Sampai di Mahana Point, ternyata ya restaurant juga, sama seperti Secret Beach. Ahaha.. Jadi kami cuman menikmati Secret Point Beach dari atas, tidak turun kebawah. Saat itu memang lagi panas-panasnya sih, turun dari motor aja uda seret tenggorokan. Pft. Tidak jauh dari Secret Point, ada Blue Lagoon, awalnya kami bingung dimana lokasinya karena sepanjang jalan isinya hanya tempat menginap, warung makan, dan pagar beton. Setelah sempat memutar balik karena meyakini tempat Blue Lagoon di daerah yang telah kami lalui, tetiba ada bli yang nyeletuk “Kalo mau ke Blue Lagoon, parkir disini aja mba, masuknya dari sana.” (sambil menunjuk pagar beton didepan kita). Ternyata daerah Blue Lagoon tanahnya sudah dibeli oleh investor dan akan dibuatkan restaurant. Kita berdua merasa yah sayang banget kalau daerah wisata ini diambil alih dan dialih fungsikan untuk kepentingan pribadi. Anyway, Blue Lagoon ini gila banget pemandangannya. Karang memanjang di sisi tengah diantara air laut berwarna biru muda dengan ombak yang berirama.

Blue Lagoon

Blue Lagoon

Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 WITA kala itu, kami memutuskan untuk kembali ke Nusa Lembongan, menuju lokasi wisata terakhir yaitu Mangrove Forest. Kenapa wisata terakhir? karena kami mengejar boat terakhir untuk pulang ke Denpasar yaitu pukul 16.00 WITA. Lokasi Mangrove Forest terletak di sebelah utara Nusa Lembongan. Sekitar 20 menit dari Nusa Ceningan. Kami melewati jalur yang agak lebih sepi untuk bisa mencapai lokasi lebih cepat. Ketika sampai di dekat Pura Sakenan Nusa Lembongan, ada bapak-bapak yang menawarkan untuk berkeliling Mangrove Forest menggunakan boat miliknya. Bila dilihat lebih dalam, sebenarnya lokasi Mangrove Forest ini sudah tidak terlalu ramai oleh wisatawan, karena wisatawan yang datang hanya ke daerah pantai, watersport dan itu hanya one day trip. Akhirnya kami mengiyakan ajakan sang Bapak, sekali berkeliling 100k, harga yang tidak berubah semenjak 2015 lalu. Berkeliling Mangrove Forest membutuhkan waktu 15 menit saja, lumayan ada tambahan rute, setelah masuk kedalam area Mangrove, kami diajak memutar diluar Mangrove untuk sampai kembali ke tempat semula. Airnya tidak terlalu dalam, jadi akar-akarnya masih terlihat jelas.

Mangrove Forest

Kami berkendara kembali untuk membeli tiket boat pelabuhan Jungutbatu, sambil menunggu waktu sekitar sejam untuk berangkat, kami memutuskan untuk makan siang di belakang pelabuhan. Iya, jam 15.00 WITA kami baru makan siang. Hahaha.. Overall, berwisata di Nusa Lembongan x Nusa Ceningan selama satu hari saja itu bisa. Selama gak lama-lama di satu tempat wisata. Ehehehe.. tapi kalau mau sambil leyeh-leyeh dan menikmati cafe-cafe bersunset ria, menginap adalah pilihan terbaik. Akhir kata, ada sedikit recap perjalanan kami dibawah ini..

HAVE A NICE DAY!

Trip: Sumbawa Barat, Pariri Lema Bariri (Pulau Kenawa)

“Pariri Lema Bariri merupakan motto daerah dari Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang berarti reformasi perubahan disegala bidang pembangunan. Makna khususnya adalah “Pariri” bermakna menghimpun, memperbaiki, membangun, merawat secara bekesinambungan. “Lema” bermakna agar, supaya atau segera. “Bariri” bermakna baik, berguna, berfungsi, bermanfaat sekaligus sempurna.”

Perjalanan kali ini adalah serba pertama bagi saya. Pemilihan Sumbawa Barat sebagai tempat perjalanan tahun ini adalah untuk menghadiri ngunduh mantu teman kantor yang bekerja di Bandara Lombok, pasangannya berasal dari kecamatan Seteluk. Undangan tercantum pada hari Minggu, saya pikir apa tidak sekalian saja mengeksplorasi Sumbawa Barat, mumpung baru pertama kali.

Bersama teman sekantor dan teman satu direktorat dengan yang punya hajatan, Endah, kami mengatur rute perjalanan, itinerary, sampai dengan akomodasi. Kami sependapat untuk memulai perjalanan pada hari Jumat dan kembali pada hari Senin. Untuk itinerary bisa lihat di gambar ini ya, sudah termasuk estimasi pengeluaran biaya kecuali untuk makan, tiket, dan cinderamata.

Itinerary Sumbawa Barat
Itinerary Sumbawa Barat

Setelah ditelisik lebih lanjut mengenai rute perjalanan, saya berhadapan dengan perjalanan yang bisa dikatakan lumayan panjang. Dimulai dari Bandara Internasional Lombok, Praya menuju Pelabuhan Kayangan jaraknya 76 KM dengan waktu tempuh sekitar 2 Jam. Ketika di Sumbawa, dari Pelabuhan Poto Tano menuju Pantai Tropical jaraknya 74 KM dengan waktu tempuh sekitar 2 Jam juga. Saya kemungkinan besar menjadi driver menuju keseluruh tempat, maka dari itu saya perlu mobil yang benar-benar nyaman untuk semuanya, dari ruang, kapasitas, ergonominya, sampai besaran mesin biar kuat perjalanan jauh. Kenapa begitu? Ternyata saya ngerasain beda mesin mobil LCGC yang saya punya dan mesin mobil minibus punya oom saya pas dipakai di Jakarta. Ahahaha.. Tapi pernah gak sih melakukan perjalanan jauh mengendarai sendiri? Pernah, tapi cuman 66 KM dari Denpasar ke Desa Pinggan dan 63 KM dari Denpasar ke Karangasem. Jadi, perjalanan mengendarai sendiri dengan jarak tempuh yang lumayan panjang ini merupakan hal pertama buat saya.

Awalnya, ketika akan menyewa kendaraan, saya menanyakan mobil minibus semacam Avanza atau Yaris, tapi dikarenakan peserta yang ikut perjalanan bertambah 4 orang dan yang dimiliki oleh pemilik penyewaan hanya Innova, akhirnya kami sepakat menggunakan mobil tersebut sebagai mobil official.

Saya mulai cerita ya tentang apa yang kami lakukan selama di Lombok-Sumbawa Barat. Saya kenalkan secara singkat teman-teman yang ikut dalam perjalanan. Saya dan Endah sebagai driver dan co-driver, Endah yang membantu saya untuk standby rute menggunakan gmaps, sebagai bendahara perjalanan, dan DJ untuk lagu-lagu di spotify selama disana. Ahaha.. Empat peserta lainnya ada Filda dan Rani dari Kantor Pusat Jakarta, Maulana Ayu dari cabang Semarang, dan Fitri dari cabang Surabaya.

Mendarat di Praya, Lombok saya sudah di telepon oleh pemilik penyewaan mobil yang notabene adalah teman saya yang bekerja sebagai protokoler Bandara Lombok. Penerbangan saya, Endah, dan Maulana mengalami delay selama 30 menit. Akhirnya saya bertemu dengan teman saya untuk mengambil mobil, mengantarnya ke kantor dan sarapan pagi Nasi Puyung terlebih dahulu di Rumah Makan Cahaya, dekat dari Bandara. Setelah sarapan dan mengisi bensin, kami memulai perjalanan pada pukul 11.00 WITA, perjalanan kurang lebih 2 setengah jam. Kami mampir terlebih dahulu di daerah Suela untuk meminjam alat-alat camping seperti tenda, nesting, gas, kompor portable, matras, dan sleeping bag. Persiapan kami untuk camping di Pulau Kenawa. Selepas itu kami mampir di Alfamart untuk membeli perlengkapan makan malam dan makan pagi. Pukul 14.30 WITA kami sudah sampai di Pelabuhan Kayangan, tidak perlu menunggu lama, kami langsung diminta masuk ke kapal ferry ASDP dan memulai perjalanan menuju Pelabuhan Poto Tano. Pukul 16.40 WITA kapal berlabuh di Pelabuhan Poto Tano, Pelabuhan dengan pemandangan bukit-bukit indah dan pulau-pulau yang saling beriringan. Pertama kali melihat pelabuhan dengan pemandangan yang indah sekali.

Pelabuhan Poto Tano
Pelabuhan Poto Tano

Selepas unloading di kapal, kami beranjak mencari pelabuhan untuk menyebrang ke Pulau Kenawa. Lokasinya tidak jauh dari Pelabuhan Poto Tano, di sebelah kiri jalan dengan gapura yang terlihat jelas. Kami bertanya terlebih dahulu mengenai ketersediaan kapal dan meminta untuk menunggu sebentar karena kami perlu mencari masjid/musholla untuk shalat plus persiapan menuju Pulau Kenawa. Setelah shalat, mobil kami parkirkan di kantor penimbangan barang untuk truk-truk besar. Kami di antar menuju ujung pelabuhan dan bertemu dengan Bapak Jahar. Bapak Jahar yang akan membawa kami dengan kapal kecilnya menuju Pulau kenawa. Harga yang diberikan kepada kami untuk antar dan jemput sebesar Rp 250.000/kapal. Pukul 17.40 WITA kami berangkat dan hanya membutuhkan 15 menit saja untuk sampai di Pulau Kenawa. Matahari sudah semakin meredup, setelah kami turun dari kapal dan meminta Bapak Jahar untuk menjemput kami pukul 09.00 keesokan harinya, kami mencari tempat camping yang sesuai dan stabil tanahnya untuk bisa mendirikan tenda. Kami berenam bersama-sama mendirikan tenda dan perlu mencari-cari posisi pasak yang sesuai agar tenda stabil berdiri. Tepat 18.30 WITA akhirnya tenda terpasang dengan sempurna. Kami beranjak dari tenda dan mencari warung yang masih buka untuk bersantap malam. Disana kami melihat ada beberapa warung, kami memilih warung yang paling ujung, warung Ibu Nur. Warungnya tertulis menyediakan seafood, setelah kami bertanya ternyata ikan laut harus dipesan terlebih dahulu dan saat itu hanya tersedia mie rebus dan goreng. Ahahhaa.. Ya sudah kami memesan mie dan menumpang mencharge HP.

Sambil menunggu waktu malam, kami sempat berbincang-bincang dengan Ibu Nur dan suami. Ibu Nur menceritakan ketika gempa tahun lalu beliau berada di Pulau Kenawa dan tidak berada dirumahnya di Pulau Sumbawa. Rumah beliau lumayan mengalami kerusakan sedangkan di Pulau Kenawa sendiri beliau merasakannya namun tidak sebesar di Pulau Sumbawa. Lalu Ibu Nur menceritakan banyak pendatang dari Suku Bajo yang ada di sekitar Pulau Sumbawa untuk mencari pekerjaan. Selain itu Ibu Nur sempat mengeluhkan ketika PT Newmont diambil-alih oleh pemerintah karena dana bina lingkungan sedikit berkurang dibandingkan ketika masih dipegang oleh asing. Huehehe.. ya namanya juga namanya yaa..

Setelah semakin larut, kami melihat ada 2 kapal yang bersiap untuk berlabuh ke Pulau Kenawa. Kapal tersebut berasal dari Labuan Bajo dan transit disini untuk “minum-minum”. Akhirnya Kami pamit untuk kembali ke tenda. Saya dan Endah mengecek kembali pasak di dua tenda kami. Ketika saya memandang langit di sebelah timur, saya terkejut melihat bulan dengan bentukan sempurna dan sangat cerah di atas bukit-bukit Pulau Sumbawa. Saya tidak bisa berkata-kata karena saking takjubnya. Kami memandang bersama-sama sambil berbincang sampai pukul 21.00. Bulan itu cuaca tidak terlalu bersahabat, angin kencang mulai mendera kami sekitar pukul 02.00 dini hari. Sempat dibangunkan karena suara angin yang cukup keras, hingga Endah dan saya keluar dari tenda untuk memastikan pasak masih tertancap dengan kuat.

Pukul 05.00 setelah semua sudah bangun dan melakukan shalat subuh, kami bersiap-siap untuk berjalan sampai puncak bukit Kenawa. Berbekal sandal jepit, topi, senter, dan kamera, kami berjalan beriringan. Rumput kering yang lumayan tinggi di sekitar pulau membuat langkah diiringi melompat-lompat. Tak sampai setengah jam, kami sudah berada di puncak bukit. Matahari malu-malu mengeluarkan arunikanya. Secercah warna jingga lambat laun merekah di penjuru langit. Indah sekali.

Kami menikmati hangatnya sinar matahari pagi hingga cahayanya sudah naik sempurna. Kami menuruni bukit, berfoto, dan bersiap-siap untuk makan pagi diselingi dengan persiapan untuk kembali ke Pulau Sumbawa. Ketika saya berjalan kembali ke tenda dari toilet, ternyata Pak Jahar sudah menambatkan boatnya sesuai jam yang kami tentukan kemarin. Sungguh sejatinya kami lupa waktu ketika dihadapkan dengan keindahan pulau Kenawa. haha.. Akhirnya kami merapikan peralatan makan, tenda dan barang-barang pribadi. Barang-barang kami dibawa oleh Pak Jahar ke boat dan Bu Nur meminta kami untuk melihat dermaga di sisi selatan pulau, tidak jauh dari warung. Kami menuju kesana dan sayang kondisi dermaga seperti tidak diurus oleh pengelola. Namun, pemandangan indah disuguhkan di depan mata kami yaitu hamparan bukit-bukit yang ada di Pulau Sumbawa dan Pelabuhan Poto Tano terlihat jelas. Laut biru bergradasi pun tak kalah cantiknya. Ingin sekali kami bermain air sejenak namun kami harus melanjutkan perjalanan di Pulau Sumbawa.

This slideshow requires JavaScript.

Kami berpamitan dengan Bu Nur dan menaiki boat Pak Jahar. Pulau Kenawa, pulau yang menarik untuk dikunjungi. Pulau yang memikat hati untuk berlama-lama menikmati keindahannya. Suatu hari nanti, saya akan mengunjunginya kembali. Terima kasih Pulau Kenawa. Saya dan teman-teman sudah siap mengunjungi daerah Sumbawa Barat lainnya. Mari…

note: bila ingin menghubungi Pak Jahar bisa di 081909277521

HAVE A NICE DAY!

To be continued..

Trip: Karang Boma dan Pencarian Tebing Kembar

Menikmati pemandangan laut lepas samudera hindia tanpa pantai tak hanya bisa dinikmati di Pura Luhur Uluwatu, ada tempat yang lain dan jauh lebih sepi, namanya Karang Boma Cliff. Letaknya tepat sebelum pintu masuk Pura Luhur Uluwatu, di sebelah kiri jalan ada tanda panah “Karang Boma”.

Saya, Endah, dan 3 teman lainnya sudah berencana pada sore hari sekitar pukul 3. Mobil saya lajukan untuk menjemput Endah dan Innue di Kuta, lalu melanjutkan menjemput Hesti di Benoa Square, dan terakhir menjemput Pak Wawan di Upnormal Jimbaran. Perjalanan kami dimulai, udaranya pada saat itu memang sedang panas-panasnya. Sampai menghidupkan AC pada level 2 pun masih terasa panas. Sekitar 45 menit kemudian kami sampai di depan pintu masuk Karang Boma Cliff, ternyata sudah ada yang menjaga tempat tersebut. Bapaknya menawarkan apakah mobil saya ditempatkan sebelum gerbang atau masuk kedalam sampai ke tujuan, katanya sekitar sekilo dari pintu masuk. Saya gambling karena kalau ditempatkan dipintu masuk, retribusinya Rp 20.000,- sedangkan kalau masuk kedalam retribusinya menjadi Rp 100.000,- kenapa bisa jomplang banget ini ya.. Bapaknya bilang karena tempat ini sejatinya sudah milik orang lain dan orang tersebut merasa itu wilayah dia dan orang lain harus membayar lebih untuk masuk. Huft.

Setelah berdiskusi akhirnya kami menyepakati untuk masuk sampai kedalam. Saya pikir dari pintu masuk sampai ke tujuan tidak terlalu jauh, walaupun jalannya sudah berkavling nyatanya berliku-liku naik turun. Ahaha.. Sampai di dalam dan memarkirkan mobil, kami berjalan menyusuri lapangan hijau yang terbentang luas, disebelah kiri kami ada kandang sapi dan disebelah kanan kami yang menjajakan warungnya.

hamparan hijau

Kami berjalan sampai ke ujung dan pemandangan laut berwarna biru tua yang membentang luas dengan terik matahari yang menyengat memberikan suasana yang sangat memikat hati. Saya mengambil beberapa gambar dan rekomendasi untuk berfoto ada di sebelah kiri kami, Tebing Karang Boma itu sendiri. Pada saat saya berjalan di atas Karang Boma dan setelah Endah mengambil foto, saya merasa kecil sekali. Saya merasa hanya serpihan kecil di dunia ini. tssaahh..

This slideshow requires JavaScript.

Selesai berfoto dari jauh, kami mulai berfoto dari sisi ujung Karang Boma. Pemandangannya ciamik dan bisa melihat karang bebatuan dengan hantaman ombak. Masuk ke kiri sedikit, ada semak-semak dan pemandangan yang disajikan juga tidak kalah bagus.

Berikut salah satu video yang saya buat:

Setelah bermain di Karang Boma, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Melasti. Saya baru sekali bermain kesana, Innue sendiri ingin kesana karena mau melihat tebing kembar yang sering dijadikan tempat berfoto untuk prewedding ataupun untuk videography mobil dan motor.

Kami sampai di Pantai Melasti sekitar pukul setengah lima sore, saya lihat perubahan yang massive sekali. Dulu luasnya hanya setengah dari yang sekarang, saat ini bukit kapur dibelakang hotel dipapas menjadi jalan untuk kegiatan paragliding, dibagian bawah banyak payung pantai berjejer, penjaja makanan berkumpul menjadi satu, dan ada tebing kembar yang lagi ramai diperbincangkan.

Mobil sudah terparkir rapi di tempat parkir dekat penjaja makanan. Kami masih menerka-nerka dimana keberadaan tebing kembar itu. Kami berjalan kaki sampai naik ke atas menuju tempat paragliding tapi tidak kami temukan. Malah menikmati hal-hal lainnya. Setelah melihat matahari hampir turun, kami ke tempat penjaja makanan dan bertanya kepada salah satunya. Bapak itu bilang ada di dekat pintu masuk, ada papan informasinya. Kami masih berspekulasi ada di tebing sebelah pintu masuk, kami keluar dari parkiran dan menuju tempat tersebut, malah tidak ada juga. Hahaha..

This slideshow requires JavaScript.

Akhirnya saya menjalankan mobil saya pelan-pelan menyusuri kembali dan kami akhirnya menemukan lokasi tebing kembar. Setelah dari pintu masuk, ikuti jalan dan jalanan pertama sebelah kiri ada tulisan “Tebing Kembar”. Lihatnya pelan-pelan ya, karena tulisan dan papannya berwarna hampir sama. Hahah..

Kami menunggu giliran untuk berfoto, ada yang lagi prewedding dan ada yang lagi foto-foto biasa. Golden hournya sudah hampir lewat, akhirnya cuman berfoto sekedar saja karena sudah mulai gelap. Kami menyusuri kembali sampai kebawah dan melihat suar senja dari kejauhan.

This slideshow requires JavaScript.

Akhirnya kami menemukan tebing kembar yang diinginkan, sudah waktunya kembali dan menyudahi kegiatan setengah hari ini dengan makan bakmi jowo. what a nice plan to do, right?

HAVE A NICE DAY!