Trip: Menikmati Keindahan Jazirah Leihitu

Ketika saya menginjakkan kaki kembali di Pulau Ambon kala itu, belum terpikirkan oleh saya untuk segera mengeksplorasi wisata disini. Alasannya adalah selain kendaraan saya belum tiba tapi juga karena saya masih kaget dengan beban pekerjaan yang bertambah dari hanya satu bagian menjadi enam sampai tujuh bagian. Inginnya sampai settle dahulu atau sampai dengan penyerahan beberapa bagian pekerjaan ke pejabat yang baru, setelah itu baru coba eksplorasi yang paling dekat dengan rumah dinas.

Namun, memang dasarnya tukang jalan itu turunan ya, jadi ketika saya awal di Ambon, saya mengajak Ibu saya untuk ikut menemani selama kurang lebih 2 minggu. Hitung-hitung melihat Ambon untuk pertama kali. Secara random Ibu saya mengajak untuk melihat Benteng Amsterdam. Ladala… dimana pula itu Benteng Amsterdam? Sambil melihat gmaps, saya tercengang karena lokasinya tepat dibelakang rumah dinas, harus membelah bukit dan jalur yang kalo di zoom in di gmaps, berkelok-kelok. Terbesit tambahan bumbu drama, apakah saya bisa kesana dengan menggunakan motor? karena selama di Bali saya sudah jarang sekali menggunakan motor, hanya ketika saya kuliah di Yogya dan pemakaiannya seperti di track motogp.

Akhirnya, hari minggu dengan cuaca panas khas Ambon (kentang banget), kami beranjak menggunakan motor pinjaman dari teman kantor. Isi asupan energi dahulu di Wailela dan kami siap membelah bukit. Kami melewati daerah Hunuth dan mulai menaiki dan menuruni bukit sampai di daerah Hitu, lalu berbelok ke kiri dari daerah Wakal sampai ke daerah Kaitetu. Ketika kami menuruni bukit di daerah Hitu, kami begitu merasakan suasana yang sangat berbeda dari daerah yang pernah saya kunjungi. Bila dari laman website maupun diberita lokal, daerah di utara dan barat pulau Ambon ini disebut dengan Jazirah Leihitu. Menurut Dizzman, pada laman website kompasiana miliknya mengatakan “Wilayah ini memiliki sejarah yang panjang dimulai dari berdirinya Kerajaan Tanah Hitu, lalu masuknya Islam pada abad ke-15, disusul oleh Portugis dan Belanda pada abad ke-16.”

Postingan blog ini akan lebih banyak cerita tentang 3 tempat wisata sejarah yang ada di daerah Kaitetu dan Hila, Jazirah Leihitu. Perjalanan untuk sampai ke tempat wisata pertama, Benteng Amsterdam, membutuhkan waktu kurang lebih 90 menit dari rumah dinas saya di Negeri Tawiri. Pemandangan yang kita dapat selama perjalanan adalah pesisir pantai dan setengah bahu jalan dipakai untuk mengeringkan cengkeh. Kalo diperhatikan daerahnya seperti kampung nelayan, bentukan rumahnya pun melayu sekali. Bagus banget.

Sesampainya di tempat parkir Benteng Amsterdam, pantat saya sudah kebas sekali karena merasakan begitu jauhnya perjalanan, ditambah cuaca yang begitu panas serta banyaknya polisi tidur. Ya maklum, kami berdua baru pertama kali menginjakkan kaki dan mengekplorasi sejauh ini. Hehe..

Kami mulai beranjak mendekati pintu masuk Benteng, kami mengisi buku tamu dan memberikan dana seikhlasnya didalam kotak. Menuju pintu masuk akan disuguhi pohon besar yang rindang, tidak jauh dari sana kita bisa langsung melihat hamparan laut. Menurut penuturan pada website Pemerintah Kota Ambon, Benteng Amsterdam terbentuk pada tahun 1512 oleh Portugis sebagai tempat loji perdagangan, namun ketika dikuasai oleh Belanda pada tahun 1602 digunakan sebagai kubu pertahanan untuk melawan kerajaan Hitu.

Bangunannya terdiri dari 3 lantai, pada lantai satu terdiri lantai berbata merah, lantai dua dan tiga terdiri lantai berkayu besi. Pada ujung bangunan terdapat sebuah menara pengintai. Lantai satu berfungsi sebagai tempat tidur para serdadu, lantai dua untuk tempat pertemuan para perwira dan lantai tiga berfungsi sebagai pos pemantau

Menurut saya, benteng ini masih terlihat sangat kokoh dan dirawat apik oleh penduduk sekitar. Namun sayang, informasi terkait Benteng Amsterdam ini tidak banyak, pun tidak ada guide yang standby untuk menceritakan lebih banyak tentang benteng ini. Semoga saja kedepannya ada yang dapat menceritakan mengenai bangunan bersejarah ini.

Tempat wisata sejarah kedua tidak jauh dari Benteng Amsterdam yaitu Gereja Tua Imanuel. Gereja ini sudah tidak difungsikan lagi untuk kegiatan peribadatan, namun kita bisa mengunjunginya kapanpun karena pintu gereja selalu terbuka. Pada saat kami berkunjung kesana, kami bertemu dua orang lainnya yang sedang melihat-lihat didalam. Kami mengisi buku tamu dan memberikan sumbangan seikhlasnya didalam kotak yang sudah disediakan. Bangunan bersejarah ini bila saya baca di website indonesiatraveler.id, dibangun oleh Belanda pada tahun 1659 dan merupakan gereja tertua di Provinsi Maluku. Gereja ini sempat mengalami kerusakan pada tahun 1999, namun sudah kembali dipugar dan menjadikan salah satu cagar budaya.

Setelah melihat Gereja Tua Imanuel, kami beranjak untuk mencari Tempat wisata sejarah ketiga yaitu keberadaan Masjid Tua Waupaue. Kami sempat nyasar sebentar karena bila dilihat dari gmaps, dekat dengan lapangan bola, kami kira bisa mengelilingi lapangan tersebut, ternyata memang harus melewati rumah warga karena posisi Masjid Tua tersebut di ujung jalan dan tidak bisa dilewati kendaraan selain motor/sepeda. Lokasi Masjid Tua ini juga tidak terlalu jauh dari Benteng Amsterdam dan Gereje Tua Imanuel. Hanya berjarak kira-kira 300 meter saja. Ketika kami sampai di Masjid Tua tersebut, rasanya agak mistis ya. ehehehe.. Beda banget rasanya, seperti didunia lain (untung saja Ibu saya yang “sensitif” tidak terlalu merasakannya). Kami memarkirkan motor diluar dan beranjak masuk kedalam area dalam Masjid.

Di area masjid, kami bertemu dengan dua Ibu-Ibu, sepertinya warga sekitar yang selesai shalat Ashar. Kami berbicara beberapa menit, Ibu saya masih mendengarkan cerita, saya masuk kedalam area masjid. Masjidnya benar-benar terlihat autentik sekali, dari buku-buku tua, bedug, mimbar imam, dan tiang-tiang kayu. Sebelum kami masuk ke area masjid, kami sempat membaca tulisan prasasti yang cukup besar dan terbaca jelas. Tertulis:

“Didirikan oleh Perdana Jamilu, seorang Da’i keturunan dari Kesultanan Jailolo dari Moloku Kie Raha pada tahun 1414 di Wawane dengan nama Masjid Wawane, namun pada tahun 1614 dipindahkan oleh Imam Rijalli ke Tehalla sekitar 6 Km sebelah timur Wawane. Pada Tahun 1614 Masjid ini dipindahkan kembali ke Kaitetu, dimana didirikan dibawah pohon mangga berabu yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Oleh sebab itu kemudian masjid ini berubah nama menjadi Masjid Wapaue. Ciri khas bangunan induknya adalah tanpa menggunakan paku.”

Kami sempat termangu ketika selesai membaca sejarah singkat Masjid Waupaue karena Masjid ini dibangun sudah lama sekali dan banyak sekali lika liku perjalanannya hingga masih tetap ada sampai dengan saat ini dan digunakan untuk beribadah bagi warga sekitar.

Hari semakin sore, kami berpamitan kepada kedua Ibu tersebut. Kami mulai mengendarai motor dan kembali ke rumah dinas dalam rasa penuh syukur dan senang bisa berkunjung ke tempat bersejarah di Pulau Ambon.

HAVE A NICE DAY!